Ayahku…Ayah terhebat sedunia, sekiranya
begitulah kata setiap anak di dunia ini. Membanggakan ayahnya, satu-satunya
lelaki yang menyayangi dan tidak pernah menyakiti hatinya, begitu pula ayahku.
Ayahku berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, dia berasal dari kampung
biasa yang kental dengan suasana pedesaan dan hanya tinggal dirumah papan.
Ayahnya alias kakekku adalah seorang tentara yang sudah almarhum saat ayahku
kuliah, ibunya alias nenekku hanya seorang ibu rumah tangga yang harus mengurus
sebelas orang anaknya, ayahku anak ke
empat. Tempat tinggal ayahku berpindah-pindah disebabkan oleh penugasan
ayahnya dulu. Sebelum ayahnya tutup usia, keluarga mereka terakhir tinggal di
sebuah wilayah yang jauh dari kehidupan kota pula, yah masih pedesaan dan masih
berumah papan. Meskipu suka
berpindah-pindah sekolah ayahku tetap menjadi murid yang pintar, dia suka
bercerita selama bersekolah dia tidak pernah keluar dari 3 besar, entah itu
hanya supaya aku termotivasi atau memang demikian. Tapi melihat setiap prestasinya
selama ini sepertinya memang betul. Ayahku suka menulis puisi, tulisannya indah,
ia pandai bermain kata-kata, namun sangat pendiam dan mungkin pemalu, atau
cuek. Sama sekali denganku, keluargaku bilang aku sangat mirip dengan ayahku,
dari sifat sampai senyumnya, bahkan aku punya kebiasaan yang sama dengannya
sama-sama suka bersin dan kami seperti terhubung, contohya tiap dia bersin
akupun langsung ikutan bersin hahha. Ikatan batin yang sangat kuat. Tapi aku
tidak terlalu dekat dengan ayahku. Mungkin karena kami sama-sama cuek, jadi
jika bertemu berdua saja hanya saling diam yang akan terjadi. Kembali lagi,
setelah ayahnya meninggal, keluarga ayahku memutuskan untuk pindah ke kota,
karena saat itu salah satu kakaknya sedang jaya-jayanya di perkotaan, dan
beberapanya memutuskan untuk merantau ke kota lain, bahkan ada yang memutuskan
untuk pulang kampung dan mendulang usaha disana. Sedangkan ayahku memang sudah
diluan merantau di kota, untuk kuliah dan tinggal di rumah kost, meskipun
ibunya sudah pindah ke kota dan dibuatkan rumah oleh kakaknya, ayahku tetap
tinggal di rumah kost, mau mandiri dan membiayai dirinya sendiri. Uangnya
didapatkan dari membantu tugas kuliah kawan-kawan atau seniornya begitu juga
dengan skripsi-skripsi seniornya, setelah itu ia akan mendapatkan upah yang
dipakainya untuk bertahan hidup. Semasa kuliah, akhirnya ia bertemu dengan
ibuku, juniornya.
Ibuku
adalah sosok yang suka jual mahal namun tidak sombong, dia jual mahal kepada
semua laki-laki terlebih lagi karena belum pernah pacaran, didikan di keluarga
ibuku sangat keras, dia terlahir dari keluarga yang berada, ayah dari ibuku
adalah seorang lelaki yang punya ambisi sangat kuat dan sangat mendalami ilmu
agama, ayah ibuku terlahir dari keluarga yang tdak kaya, dia berasal dari pulau
yang kecil, namun sejak ia kecil ia sudah dipaksa merantau ke kota satu dan ke
kota lain sampai akhirnya hanya dengan bermodal tekad yang kuat iapun sukses di
kota dan menggaet wanita di salah satu tempat rantauannya, ialah nenekku.
Mereka dikaruniai 7 anak tapi yang satu telah meninggal karena sakit saat masih
kecil. Dan ibuku adalah anak ketiga. Ayah dari ibuku, alias kakekku adalah
pekerja keras dan telah mendapatkan banyak jabatan, keluarga mereka sempat
menjadi terkenal di kota kelahiranku, tempat kakek dan nenekku menuai
kebahagiaan dengan kejayaan kakekku. Anak-anak mereka lahir dengan keadaan
orangtuanya telah sukses dan dari kecil mereka dijamu oleh hidup enak dan
disiplin. Tapi dari ke enam bersaudara, ibuku lah yang terbandel dan suka tidak
mempedulikan aturan saat saudaranya yang lain begitu takut dengan kakekku. Ibuku
berteman dengan siapa saja, dia tidak memilih-milih teman tapi paling banyak
teman-temannya adalah anak-anak pejabat yang sama bandelnya dengan dia, bahkan
saat masa sekolah, bukannya pulang tepat waktu dia malah pergi dengan
teman-temannya ke suatu daerah yang agak jauh dari kota,hanya untuk makan
durian, hahah yah, ibuku suka sekali durian, dan saat pulang ke rumah, kakekku
sudah menunggu di depan pintu dengan muka garangnya lalu pantatnya dipukul oleh
tongkat kakekku. Terlebih lagi ibuku
juga suka menjahili adik-adiknya sampai-sampai hanya dia yang sering kenna
semprot kakekku. Ibuku memang seperti lelaki, rambutnya saja suka dipotong
pendek. Sampai akhirnya tiba masa kuliah, dia ikut kedua orang kakaknya
merantau ke kota lain, dan kuliah disana, lalu bertemulah dengan ayahku sebagai
seniornya.
Singkat cerita, ayahku mulai memberanikan
diri untuk melamar ibuku, meskipun ditolak berkali-kali tapi ayahku tidak
pernah kapok dan terus datang sampai kakekku berhasil diyakinkannya. Sebab,
dari semua bersaudara, ibukulah yang pertama menikah, jadi untuk pertama
kalinya kakekku harus melepaskan anaknya, tidak heran kalau dia harus tegas
bahkan wajar kalau merasa belum rela. Kata Ayahku itulah saat-saat paling menakutkan
dalam hidupnya, menghadapi kakekku, ayah dari ibuku. Dan sangat pontang panting
ia dibuatnya, terlebih lagi kata-kata kakekku yang selalu pedis terdengar. Namun
ayahku juga tidak mau menyerah, dia mampu membuktikan rasa cintanya yang tidak mudah
dihentikan oleh kerasnya hati orangtua kekasihnya. Yah sekali lagi ayahku
memang orang yang ambisinya kuat dan tidak pernah menyerah, sekali mengambil
langkah dia akan tetap maju dan maju selagi nyawanya belum habis. Mereka pun
menikah, dan ayahku mampu membuktikan kasih sayangnya tidak hanya kepada ibuku,
melainkan kepada keluarga ibuku, ia benar-benar membuktikan kepada kakekku
bahwa ia mampu membahagiakan anaknya, ia mampu mensejahterakan ibuku, meskipun
saat itu ia masih belum punya apa, bahkan pekerjaanpun belum ada. Pasca
menikah, kakekku tidak mau jauh-jauh dari anaknya sampai akhirnya mereka harus
tinggal bersama orangtua ibuku, mereka diperintahkan tinggal disalah satu rumah
kakekku yang sudah lama tidak ditinggali yang hanya dibatasi oleh sebuah teras
yang luas dengan rumah utama kakekku. Ayahkupun menyetujuinya, terlebih lagi
dia belum punya kerjaan dan dia juga tidak mau meresahkan keluarga ibuku bila
harus membawa ibuku ke rumah orangtuanya di kota lain atau membuat ibuku
tinggal di rumah kost.sampai akhirnya akupun lahir dirumah itu. Dan ayahku
masih belum mendapatkan pekerjaan yang tetap, ia kerja serabutan sana sini
hanya untuk membiayaiku yang masih kecil setidaknya susu dan pampers ku
terpenuhi. Sedangkan pakaianku berasal dari pemberian nenekku, yah nenekku yang
menanggungnya, waktu beranjak dewasa nenekku suka mengenang jika melihat
handuk-handuk dan gurita-gurita yang kupakai waktu kecil dulu katanya itu
adalah pemberiannya. Dan ayahku tidak pernah protes karena sering kali dibantu
oleh orangtua ibuku, namun ia tidak juga keenakan, dia tetap berusaha keras dan
menghargai bahwa itu adalah bentuk kasih sayang orangtuanya ibuku dan aku
adalah cucu pertama mereka.
suatu waktu, kakekku sempat bertugas di
kota lain, di kota yang juga keluarga ayahku tingal disana, dan kakekku meminta
kepada orangtua ku untuk ikut pindah juga, namun ayahku memberi syarat bahwa
mereka harus diisinkan untuk hidup mandiri terlebih lagi mereka sudah
dikaruania seorang anak (aku) ayahku ingin benar-benar membina keluarganya
sendiri, tanpa campur tangan orang tua dulu, ayahku ingin membuktikan itu. Dan
pasrahlah kakekku. Akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal di rumah kost, yah
ayahku berani mengambil resiko itu, rumah kost dari papan , kata ibuku itu tidak
apa-apa selagi ia masih bersama ayahku, dia percaya dengan ayahku. Kehidupan
yang susah itupun dimulai. Tiap subuh ayahku harus bangun untuk mengambil air
disumur yang masih menggunakan pompa tangam dan mencucikan pakaianku dan
pakaian ibuku selagi ibuku mengurusku. Paginya ayahku selalu keluar rumah untuk
mencari pekerjaan. Dan mereka juga sering mengunjungi rumah keluarga ayaku dan
keluarga ibuku yang agak jauh dari tempat tinggal mereka, sering kami menginap
di rumah kakekku dank arena aku masih menjadi cucu pertama dan satu-satunya,
kakek dan nenekku sangat menyayangiku sampai aku diharuskan tidur bersama
mereka, pernah sekali aku bermain bersama ayahku dan aku lupa apa yang terjadi
saat itu, mungkin aku jatuh dan jidadku terbentur oleh sesuatu aku masih ingat
sekali ayahku menggendong dan memelukku sambil menutup jidadku yang sudah
berdarah, satu rumah panic dan ayahku dimarahi oleh kakekku. Namun ayahku
adalah sosok yang tegar dia tidak pernah menyimpan dendam, dia selalu rendah
diri dan rendah hati di depan kakekku. Cobaan bagi keluarga kecilku ada-ada
saja, pernah juga kami hampir kecelakaan saat ayahku membonceng aku dan ibuku,
mereka hampir ditabrak oleh mobil angkut, dan saat kakekku mengetahui itu
beliau tak kalah marahnya lagi dan lagi bahkan ayahku sempat dilarang
mengendarai motor lagi, kakekku memang sosok yang overprotektif. Pernah juga
masalah di kost menghampiri, tetangga kost kami tidak suka dengan kami entah
apa alasannya, dia juga mempunyai bayi yang masih sangat kecil, kerap kali saat
subuh tiba mereka mendapati popok bayi bersam kotorannya sudah ada didepan
pintu kost kami. Pernah sekali ayahku mengintip dan benar saja seorang ibu-ibu,
tetangga kost kamu menaruh popok-popok itu didepan pintu kost kami, namun
orangtuaku tetap sabar dan tidak mempedulikan tapi makin lama makin menjadi ,
bukan lagi hanya sekedar disimpan di depan pintu kost melainkan dilempar. Akhirnya
suatu subuh, kami memutuskan untuk pergi dari kost itu. Ayahku susah payah
memberhentikan mobil truk yang lewat di jalanan dan banyak yang menolak, tapi
lagi-lagi iya tidak menyerah sampai akhirnya salah satu mereka berhenti dan mau
mengangkut kami, kami pulang menuju kota kelahiranku. Kembali tinggal di rumah
kakekku. Ketika kabar itu sampai di telinga kakekku, seperti biasanya dia marah
dan panic akibat ulah ayahku. Menetaplah kami disana sampai aku beranjak TK
(Taman kanak-kanak) dan kakekku kembali bertugas di kota kelahiranku dan
menempati sebuah rumah jabatan. Sedangkan ibuku menganduk anak kedua alias
adikku. Dan ayahku juga sudah menjadi PNS setelah belasan kali gagal tes. Akhirnya
dia punya pekerjaan yang tetap sehingga bisa membiayai sekolahku dan hidup
keluarga kecil kami. Karena tidak mau hanya tinggal diam di rmah, setelah
melahirkan anak kedua, ibuku ikut tes PNS dan lolos, sednagkan aku dan adikku
dititipkan sama kakek dan nenekku, gaji mereka ditabung untuk membangun rumah. Tidak
hanya PNS, ayahku bahkan nyaris mendaftar untuk jadi dosen tapi sayang dilarang
oleh ibuku karena dia takut kalau ada mahasiswi yang nanti menyukai ayahku
ahhaha. Dari prosesnya ingin jadi dosen itulah, ayahku pulang balik ke kota
masa perkuliahannya dulu, dan berkenalan sama banyak dosen untuk membuka link,
namun karena dilarang oleh ibuku akhirnya ia tidak lakukan dan menawari diri
untuk mengerjakan thesis teman-temannya yang sedang lanjut s2 dan tentu saja
dia juga mendapatkan rejeki dari itu. Yah benar kata ayahku kalau hidup itu
setidaknya harus punya kemampuan dan tekad yang kuat. Rumah kamipun jadi, cukup
besar dan kedua orangtua ku tetap menjadi PNS. Dan ayah dan ibuku adalah
orang-orang yang sangat rajin menabungku, selanjutnya setelah rumahku jadi, ayahkupun
pergi melanjutkan s2 nya ke UGM.dan kami disuruhnya untuk tinggal di rumah
kakek dan nenekku selama ia S2. Ibukupun menurut karena dia juga harus bekerja.
Waktu itu aku sudah SD dan Adikku baru masuk TK. Untungnya TK dan SD kami
berdekatan dengan rumah kakek dan nenek. Jadi, pulang sekolah kegiatan kami
adalah makan siang dan bermain bersama kakek sambil menunggu ibu pulang kerja. Dan
selama kami tinggal sekitar dua tahun di rumah kakek dan nenek, kakek selalu mengajari
kami ilmu agama, dibelikannya kami buku-buku kisah nabi dan rosul yang aku
masih ingat itu banyak sekali, dan alquran-alquran baru dari kecil sampai yang
besar serta dibelikan juga alat-alat sholat, jadi sebelum aku didaftar ke guru
mengaji, aku sudah diluan diajari oleh kakekku, dan sholat tidak boleh lalai,
saat sudah memasuki waktu sholat semua kegiatan harus dihentikan dan kami
sholat selalu berjamaah. Selesai dua tahun, ayahkupun kembali dari s2 nya
dengan mendapatkan prestasi cumlaude. Dia bercerita banyak tentang kampusnya
yang sangat ia banggakan dan menaruh mimpi padaku kalau suatu saat aku akan
kuliah disana, yang sampai sekarang aku masih impi-impikan tapi rupanya Tuhan
belum mau mengabulkan. Lalu ibuku kembali
mengandung anak ketiga, hidup kami makin baik, sangat terjamin dan kami
bersekolah di sekolah keturunan ibuku, dari TK sampai SMA. Begitupun juga
adik-adikku. Dan ayahku masih menjadi pekerja yang keras. Sampai akhirnya
menjadi kesayangan kakekku. Akhirnya kakekku mulai percaya pada ayahku dan
bangga akannya. Saat ada masalah keluarga besar dari ibuku, ayahku selalu turun
tangan dan bagiku dialah superheronya. Ayahku benar-benar menyayangi keluarga
ibuku, dank arena rasa sayangnya yang besar itu, kakek dan nenekku pun akhirnya sangat menyayanginya. Sampai
akhirnya adik ketigaku lahir, dan kakekku mulai sakit-sakitan, waktu itu aku
sudah beranjak SMP. Dan aku masih suka tinggal di rumah kakek dan nenekku. Membantu merawat kakekku yang sudah mulai
melemah dan kurus. Diapun sudah pensiun, tapi namanya selalu dikenang sama
orang-orang sampai sekarang, jadi jika orang bertanya padaku aku ini anaknya
siapa, saat aku menyebutkan nama orangtuaku mungkin tak banyak dari mereka yang
tau tapi saat aku menyebut bahwa aku adalah cucu dari (nama kakekku) mereka
selalu terkejut dan selalu menceritakan tentang kebaikan kakekku.
Waktu
itu, ibuku berkesempatan berangkat haji, dan kondisi kakekku makin parah. Dalam
sakitnya dia selalu menyebut nama ibuku. Anaknya yang bandel dan tidak takut
dihukum, anak pertamanya yang menikah dan memberikannya cucu pertama, dan suami
yang melatih kesabarannya. Sampai akhirnya bersamaan dengan hari kepulangan
ibuku , kakekkupun menutup usia. Kakek meninggal saat ibuku sudah berada
dipesawat. Padahal hari-hari sebelumnya
mereka masih saling telponan dan ibuku bilang sudah membelikan kakekku banyak
baju, sorban, air zam-zam dan obat dari sana, betapa yakinnya ibuku bahwa
ayahnya akn sembuh karena selalu didoakannya disana. Namun saat sampai rumah,
orang-orang telah berkumpul, beberapa saudara ibuku bersama kami, senyum
bahagia dari wajah ibuku saat turun dari mobil langsung berubah seketika saat
diberitahu tentang keadaan kakek. Aku bisa menyaksikan terpukulnya hati ibuku
kala itu, dia sampai berlutut dan menahan tangisnya sekuat mungkin. Lalu
berangkatlah kami, ke kota lain, tempat kakekku akan dikebumikan sesuai
permintaannya, kota yang menjadi tempat rantauan pertamanya yang sudah ia
bangunkan rumah tempat peristirahatannya selama ini disana.
Dan
yah…hiduppun harus berlanjut meskipun telah kehilangan. Dan ayahku selalu
menyayangi nenekku, dipenuhinya kebutuhan nenekku, dan ibuku juga memenuhi
kebutuhan mertuanya, ibu dari ayahku. Karena masing-masing mereka tinggal
memiliki ibu yang kini tua renta yang selalu merasa kesepian ditinggal anak
cucunya yang sudah beranjak dewasa. Dan setelah ini adalah tugas kami,
anak-anak dari orangtua kami yang mengurus mereka, sebagaimana mereka berkorban
untuk kami untuk menjamin hidup kami agar selalu terpenuhi. Dan ayah ibuku
selalu berkata bahwa tak perlu merasa kaya, tak perlu merasa lebih meskipun
orang lain menganggap seperti itu, karena masih banyak yang lebih kaya masih
banyak yang lebih bergelimang harta, kita hanya perlu selalu merasa sederhana
agar kesombongan tidak mengalir di diri kita. Toh kita merasa cukup pun itu
karena hasil kerja keras, kita juga pernah susah, kita juga pernah tidak punya
apa-apa. Dan tidak ada yang perlu kita sombongkan atas itu, karena hidup terus
berputar, jika kita tidak mensyukurinya saat roda kita berputar ke arah yang
terburuk, kita tidak akan bisa bertahan hidup.
Dan
aku bangga menjadi bagian dari mereka, Tuhan sudah baik padaku.