Total Tayangan Halaman

2,613

Jumat, 25 Agustus 2023

Gurau


Pantun jenaka yang tak ku sukai kini ada koma diantaranya, tak siap berhenti.

Begitupula senda-guraunya.

Selalu, berlanjut.

Kini akhirnya terbiasa mendengarkan

Apapun

Tak sangka tawa itu muncul dari petang

Akibat setangkai asoka merah yang muncul tiba-tiba dari kepalan tanganmu

“sarinya manis. Cobalah”

“jika aku haus aku akan mecicipinya sambil melihatmu seperti ini”

“tapi sepertinya akan bertambah haus karena kemanisan”

Klasik sekali.

Tapi karena itu aku tertawa, karena gurauan yang sebenarnya terdengar membosankan

Karena terbiasa menjadikan aku suka

Tak perlu tanda titik

Aku tak ingin berhenti

Berlanjut saja meskipun bulan kembali berganti bulan

Dan asoka ditanganmu menjadi layu.

Selama bunga itu masih tumbuh, aku tak perlu lagi titik untuk menghentikanmu

The Ocean Rhythm

 

there is a hidden rhythm it is like Tones entering my cells transform into feeling, an awareness of two worlds at once.

 now I had to learn the rhythm of the waves

Until the dark hours are done.

 And Day’s end offers with warm salty water

 There are sounds which can stop time, alter surroundings or shift your dimension.

 It is appropriate that we sing

 soon, we have a whole orchestra

 like songs on ocean floors.

 Beneath the dark blue waves.

Wound

 

Aku mencapai titik terendahku dalam hidup. Jatuh sejatuhnya. Apapun akan terasa hampa apapun terasa hambar. seperti ku dapati diriku meringkuk di subuh itu bersama rasa sesak yang selalu menghampiri bersamaan aku membuka mata. Menghadapi kenyataan. Aku selalu ingin waktu berlalu begitu cepat namun dengan aktifitas yang sama setiap hari membuat sedetik menjadi semenit bahkan lebih. Aku ingin malam dengan cepat datang, satu-satunya waktu yang seperti anti depressan, disaat itu secepat mungkin akan kuputuskan untuk menutup mata dan berusaha menghindari segala hal yang memicu kesengsaraanku semakin besar.

Aku kehilangan arah, satu-satunya yang membuatku bertahan adalah aku tidak tau bagaimana caranya untuk mengakhiri hidup meskipun keinginan itu sudah berpuluh-puluh kali mampir di kepalaku. Yang pada akhirnya membuat tubuhku tetap bergerak dan memiliki nafas meskipun jiwaku sudah hampir keluar dari tempatnya.

Inilah rasa yang tidak ingin kuulang selama hidupku kelak. Disaat itu, aku tidak melihat masa depanku lagi, semua yang ada dikepalaku hanyalah ruang kosong yang dengan terpaksa meninggalkan tempatnya. Seakan-akan aku hanya sedang menanti kapan waktunya aku pulang untuk selamanya tanpa melakukan apapun.

 Sehari..dua hari..berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, aku seperti menyia-nyiakan waktu selama itu dengan berbagai macam percobaan melukai diri karena rupanya Tuhan membenci orang-orang yang berdoa untuk dimatikan diluar takdirnya, seperti yang kulakukan ditiap harinya.

Aku Kembali bisu dan bisu tidak pernah ada lagi senyum dan kebawelan di dalam rumah karena ulahku. Aku hanyalah mayat hidup yang meringkuk ditempat tidur selama berbulan-bulan sekaligus menghilangkan berat badan dengan otomatis dan drastis. Aku tidak tertarik terhadap apapun lagi. Kuserahkan diriku pada waktu yang terus berjalan.

Aku tuli terhadap nasehat apapun, aku hanya sendiri di dunia ku sendiri yang saat itu mejadi hitam kelam , semua rasa yang ada dalam diriku lenyap begitu saja termsauk rasa empati dan simpati terhadap orang lain, aku mendadak menjadi individualism bahkan merasa Tuhan tidak mau membantuku.

Aku seperti di antah berantah. Seperti paradox waktu yang terus berulang-ulang.

a truly blessing

Ayahku…Ayah terhebat sedunia, sekiranya begitulah kata setiap anak di dunia ini. Membanggakan ayahnya, satu-satunya lelaki yang menyayangi dan tidak pernah menyakiti hatinya, begitu pula ayahku. Ayahku berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, dia berasal dari kampung biasa yang kental dengan suasana pedesaan dan hanya tinggal dirumah papan. Ayahnya alias kakekku adalah seorang tentara yang sudah almarhum saat ayahku kuliah, ibunya alias nenekku hanya seorang ibu rumah tangga yang harus mengurus sebelas orang anaknya, ayahku anak ke  empat. Tempat tinggal ayahku berpindah-pindah disebabkan oleh penugasan ayahnya dulu. Sebelum ayahnya tutup usia, keluarga mereka terakhir tinggal di sebuah wilayah yang jauh dari kehidupan kota pula, yah masih pedesaan dan masih berumah papan. Meskipu  suka berpindah-pindah sekolah ayahku tetap menjadi murid yang pintar, dia suka bercerita selama bersekolah dia tidak pernah keluar dari 3 besar, entah itu hanya supaya aku termotivasi atau memang demikian. Tapi melihat setiap prestasinya selama ini sepertinya memang betul. Ayahku suka menulis puisi, tulisannya indah, ia pandai bermain kata-kata, namun sangat pendiam dan mungkin pemalu, atau cuek. Sama sekali denganku, keluargaku bilang aku sangat mirip dengan ayahku, dari sifat sampai senyumnya, bahkan aku punya kebiasaan yang sama dengannya sama-sama suka bersin dan kami seperti terhubung, contohya tiap dia bersin akupun langsung ikutan bersin hahha. Ikatan batin yang sangat kuat. Tapi aku tidak terlalu dekat dengan ayahku. Mungkin karena kami sama-sama cuek, jadi jika bertemu berdua saja hanya saling diam yang akan terjadi. Kembali lagi, setelah ayahnya meninggal, keluarga ayahku memutuskan untuk pindah ke kota, karena saat itu salah satu kakaknya sedang jaya-jayanya di perkotaan, dan beberapanya memutuskan untuk merantau ke kota lain, bahkan ada yang memutuskan untuk pulang kampung dan mendulang usaha disana. Sedangkan ayahku memang sudah diluan merantau di kota, untuk kuliah dan tinggal di rumah kost, meskipun ibunya sudah pindah ke kota dan dibuatkan rumah oleh kakaknya, ayahku tetap tinggal di rumah kost, mau mandiri dan membiayai dirinya sendiri. Uangnya didapatkan dari membantu tugas kuliah kawan-kawan atau seniornya begitu juga dengan skripsi-skripsi seniornya, setelah itu ia akan mendapatkan upah yang dipakainya untuk bertahan hidup. Semasa kuliah, akhirnya ia bertemu dengan ibuku, juniornya.

 

 

 Ibuku adalah sosok yang suka jual mahal namun tidak sombong, dia jual mahal kepada semua laki-laki terlebih lagi karena belum pernah pacaran, didikan di keluarga ibuku sangat keras, dia terlahir dari keluarga yang berada, ayah dari ibuku adalah seorang lelaki yang punya ambisi sangat kuat dan sangat mendalami ilmu agama, ayah ibuku terlahir dari keluarga yang tdak kaya, dia berasal dari pulau yang kecil, namun sejak ia kecil ia sudah dipaksa merantau ke kota satu dan ke kota lain sampai akhirnya hanya dengan bermodal tekad yang kuat iapun sukses di kota dan menggaet wanita di salah satu tempat rantauannya, ialah nenekku. Mereka dikaruniai 7 anak tapi yang satu telah meninggal karena sakit saat masih kecil. Dan ibuku adalah anak ketiga. Ayah dari ibuku, alias kakekku adalah pekerja keras dan telah mendapatkan banyak jabatan, keluarga mereka sempat menjadi terkenal di kota kelahiranku, tempat kakek dan nenekku menuai kebahagiaan dengan kejayaan kakekku. Anak-anak mereka lahir dengan keadaan orangtuanya telah sukses dan dari kecil mereka dijamu oleh hidup enak dan disiplin. Tapi dari ke enam bersaudara, ibuku lah yang terbandel dan suka tidak mempedulikan aturan saat saudaranya yang lain begitu takut dengan kakekku. Ibuku berteman dengan siapa saja, dia tidak memilih-milih teman tapi paling banyak teman-temannya adalah anak-anak pejabat yang sama bandelnya dengan dia, bahkan saat masa sekolah, bukannya pulang tepat waktu dia malah pergi dengan teman-temannya ke suatu daerah yang agak jauh dari kota,hanya untuk makan durian, hahah yah, ibuku suka sekali durian, dan saat pulang ke rumah, kakekku sudah menunggu di depan pintu dengan muka garangnya lalu pantatnya dipukul oleh tongkat  kakekku. Terlebih lagi ibuku juga suka menjahili adik-adiknya sampai-sampai hanya dia yang sering kenna semprot kakekku. Ibuku memang seperti lelaki, rambutnya saja suka dipotong pendek. Sampai akhirnya tiba masa kuliah, dia ikut kedua orang kakaknya merantau ke kota lain, dan kuliah disana, lalu bertemulah dengan ayahku sebagai seniornya.

Singkat cerita, ayahku mulai memberanikan diri untuk melamar ibuku, meskipun ditolak berkali-kali tapi ayahku tidak pernah kapok dan terus datang sampai kakekku berhasil diyakinkannya. Sebab, dari semua bersaudara, ibukulah yang pertama menikah, jadi untuk pertama kalinya kakekku harus melepaskan anaknya, tidak heran kalau dia harus tegas bahkan wajar kalau merasa belum rela. Kata Ayahku itulah saat-saat paling menakutkan dalam hidupnya, menghadapi kakekku, ayah dari ibuku. Dan sangat pontang panting ia dibuatnya, terlebih lagi kata-kata kakekku yang selalu pedis terdengar. Namun ayahku juga tidak mau menyerah, dia mampu membuktikan rasa cintanya yang tidak mudah dihentikan oleh kerasnya hati orangtua kekasihnya. Yah sekali lagi ayahku memang orang yang ambisinya kuat dan tidak pernah menyerah, sekali mengambil langkah dia akan tetap maju dan maju selagi nyawanya belum habis. Mereka pun menikah, dan ayahku mampu membuktikan kasih sayangnya tidak hanya kepada ibuku, melainkan kepada keluarga ibuku, ia benar-benar membuktikan kepada kakekku bahwa ia mampu membahagiakan anaknya, ia mampu mensejahterakan ibuku, meskipun saat itu ia masih belum punya apa, bahkan pekerjaanpun belum ada. Pasca menikah, kakekku tidak mau jauh-jauh dari anaknya sampai akhirnya mereka harus tinggal bersama orangtua ibuku, mereka diperintahkan tinggal disalah satu rumah kakekku yang sudah lama tidak ditinggali yang hanya dibatasi oleh sebuah teras yang luas dengan rumah utama kakekku. Ayahkupun menyetujuinya, terlebih lagi dia belum punya kerjaan dan dia juga tidak mau meresahkan keluarga ibuku bila harus membawa ibuku ke rumah orangtuanya di kota lain atau membuat ibuku tinggal di rumah kost.sampai akhirnya akupun lahir dirumah itu. Dan ayahku masih belum mendapatkan pekerjaan yang tetap, ia kerja serabutan sana sini hanya untuk membiayaiku yang masih kecil setidaknya susu dan pampers ku terpenuhi. Sedangkan pakaianku berasal dari pemberian nenekku, yah nenekku yang menanggungnya, waktu beranjak dewasa nenekku suka mengenang jika melihat handuk-handuk dan gurita-gurita yang kupakai waktu kecil dulu katanya itu adalah pemberiannya. Dan ayahku tidak pernah protes karena sering kali dibantu oleh orangtua ibuku, namun ia tidak juga keenakan, dia tetap berusaha keras dan menghargai bahwa itu adalah bentuk kasih sayang orangtuanya ibuku dan aku adalah cucu pertama mereka.

suatu waktu, kakekku sempat bertugas di kota lain, di kota yang juga keluarga ayahku tingal disana, dan kakekku meminta kepada orangtua ku untuk ikut pindah juga, namun ayahku memberi syarat bahwa mereka harus diisinkan untuk hidup mandiri terlebih lagi mereka sudah dikaruania seorang anak (aku) ayahku ingin benar-benar membina keluarganya sendiri, tanpa campur tangan orang tua dulu, ayahku ingin membuktikan itu. Dan pasrahlah kakekku. Akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal di rumah kost, yah ayahku berani mengambil resiko itu, rumah kost dari papan , kata ibuku itu tidak apa-apa selagi ia masih bersama ayahku, dia percaya dengan ayahku. Kehidupan yang susah itupun dimulai. Tiap subuh ayahku harus bangun untuk mengambil air disumur yang masih menggunakan pompa tangam dan mencucikan pakaianku dan pakaian ibuku selagi ibuku mengurusku. Paginya ayahku selalu keluar rumah untuk mencari pekerjaan. Dan mereka juga sering mengunjungi rumah keluarga ayaku dan keluarga ibuku yang agak jauh dari tempat tinggal mereka, sering kami menginap di rumah kakekku dank arena aku masih menjadi cucu pertama dan satu-satunya, kakek dan nenekku sangat menyayangiku sampai aku diharuskan tidur bersama mereka, pernah sekali aku bermain bersama ayahku dan aku lupa apa yang terjadi saat itu, mungkin aku jatuh dan jidadku terbentur oleh sesuatu aku masih ingat sekali ayahku menggendong dan memelukku sambil menutup jidadku yang sudah berdarah, satu rumah panic dan ayahku dimarahi oleh kakekku. Namun ayahku adalah sosok yang tegar dia tidak pernah menyimpan dendam, dia selalu rendah diri dan rendah hati di depan kakekku. Cobaan bagi keluarga kecilku ada-ada saja, pernah juga kami hampir kecelakaan saat ayahku membonceng aku dan ibuku, mereka hampir ditabrak oleh mobil angkut, dan saat kakekku mengetahui itu beliau tak kalah marahnya lagi dan lagi bahkan ayahku sempat dilarang mengendarai motor lagi, kakekku memang sosok yang overprotektif. Pernah juga masalah di kost menghampiri, tetangga kost kami tidak suka dengan kami entah apa alasannya, dia juga mempunyai bayi yang masih sangat kecil, kerap kali saat subuh tiba mereka mendapati popok bayi bersam kotorannya sudah ada didepan pintu kost kami. Pernah sekali ayahku mengintip dan benar saja seorang ibu-ibu, tetangga kost kamu menaruh popok-popok itu didepan pintu kost kami, namun orangtuaku tetap sabar dan tidak mempedulikan tapi makin lama makin menjadi , bukan lagi hanya sekedar disimpan di depan pintu kost melainkan dilempar. Akhirnya suatu subuh, kami memutuskan untuk pergi dari kost itu. Ayahku susah payah memberhentikan mobil truk yang lewat di jalanan dan banyak yang menolak, tapi lagi-lagi iya tidak menyerah sampai akhirnya salah satu mereka berhenti dan mau mengangkut kami, kami pulang menuju kota kelahiranku. Kembali tinggal di rumah kakekku. Ketika kabar itu sampai di telinga kakekku, seperti biasanya dia marah dan panic akibat ulah ayahku. Menetaplah kami disana sampai aku beranjak TK (Taman kanak-kanak) dan kakekku kembali bertugas di kota kelahiranku dan menempati sebuah rumah jabatan. Sedangkan ibuku menganduk anak kedua alias adikku. Dan ayahku juga sudah menjadi PNS setelah belasan kali gagal tes. Akhirnya dia punya pekerjaan yang tetap sehingga bisa membiayai sekolahku dan hidup keluarga kecil kami. Karena tidak mau hanya tinggal diam di rmah, setelah melahirkan anak kedua, ibuku ikut tes PNS dan lolos, sednagkan aku dan adikku dititipkan sama kakek dan nenekku, gaji mereka ditabung untuk membangun rumah. Tidak hanya PNS, ayahku bahkan nyaris mendaftar untuk jadi dosen tapi sayang dilarang oleh ibuku karena dia takut kalau ada mahasiswi yang nanti menyukai ayahku ahhaha. Dari prosesnya ingin jadi dosen itulah, ayahku pulang balik ke kota masa perkuliahannya dulu, dan berkenalan sama banyak dosen untuk membuka link, namun karena dilarang oleh ibuku akhirnya ia tidak lakukan dan menawari diri untuk mengerjakan thesis teman-temannya yang sedang lanjut s2 dan tentu saja dia juga mendapatkan rejeki dari itu. Yah benar kata ayahku kalau hidup itu setidaknya harus punya kemampuan dan tekad yang kuat. Rumah kamipun jadi, cukup besar dan kedua orangtua ku tetap menjadi PNS. Dan ayah dan ibuku adalah orang-orang yang sangat rajin menabungku, selanjutnya setelah rumahku jadi, ayahkupun pergi melanjutkan s2 nya ke UGM.dan kami disuruhnya untuk tinggal di rumah kakek dan nenekku selama ia S2. Ibukupun menurut karena dia juga harus bekerja. Waktu itu aku sudah SD dan Adikku baru masuk TK. Untungnya TK dan SD kami berdekatan dengan rumah kakek dan nenek. Jadi, pulang sekolah kegiatan kami adalah makan siang dan bermain bersama kakek sambil menunggu ibu pulang kerja. Dan selama kami tinggal sekitar dua tahun di rumah kakek dan nenek, kakek selalu mengajari kami ilmu agama, dibelikannya kami buku-buku kisah nabi dan rosul yang aku masih ingat itu banyak sekali, dan alquran-alquran baru dari kecil sampai yang besar serta dibelikan juga alat-alat sholat, jadi sebelum aku didaftar ke guru mengaji, aku sudah diluan diajari oleh kakekku, dan sholat tidak boleh lalai, saat sudah memasuki waktu sholat semua kegiatan harus dihentikan dan kami sholat selalu berjamaah. Selesai dua tahun, ayahkupun kembali dari s2 nya dengan mendapatkan prestasi cumlaude. Dia bercerita banyak tentang kampusnya yang sangat ia banggakan dan menaruh mimpi padaku kalau suatu saat aku akan kuliah disana, yang sampai sekarang aku masih impi-impikan tapi rupanya Tuhan belum mau mengabulkan.  Lalu ibuku kembali mengandung anak ketiga, hidup kami makin baik, sangat terjamin dan kami bersekolah di sekolah keturunan ibuku, dari TK sampai SMA. Begitupun juga adik-adikku. Dan ayahku masih menjadi pekerja yang keras. Sampai akhirnya menjadi kesayangan kakekku. Akhirnya kakekku mulai percaya pada ayahku dan bangga akannya. Saat ada masalah keluarga besar dari ibuku, ayahku selalu turun tangan dan bagiku dialah superheronya. Ayahku benar-benar menyayangi keluarga ibuku, dank arena rasa sayangnya yang besar itu, kakek dan nenekku pun  akhirnya sangat menyayanginya. Sampai akhirnya adik ketigaku lahir, dan kakekku mulai sakit-sakitan, waktu itu aku sudah beranjak SMP. Dan aku masih suka tinggal di rumah kakek dan nenekku.  Membantu merawat kakekku yang sudah mulai melemah dan kurus. Diapun sudah pensiun, tapi namanya selalu dikenang sama orang-orang sampai sekarang, jadi jika orang bertanya padaku aku ini anaknya siapa, saat aku menyebutkan nama orangtuaku mungkin tak banyak dari mereka yang tau tapi saat aku menyebut bahwa aku adalah cucu dari (nama kakekku) mereka selalu terkejut dan selalu menceritakan tentang kebaikan kakekku.

Waktu itu, ibuku berkesempatan berangkat haji, dan kondisi kakekku makin parah. Dalam sakitnya dia selalu menyebut nama ibuku. Anaknya yang bandel dan tidak takut dihukum, anak pertamanya yang menikah dan memberikannya cucu pertama, dan suami yang melatih kesabarannya. Sampai akhirnya bersamaan dengan hari kepulangan ibuku , kakekkupun menutup usia. Kakek meninggal saat ibuku sudah berada dipesawat.  Padahal hari-hari sebelumnya mereka masih saling telponan dan ibuku bilang sudah membelikan kakekku banyak baju, sorban, air zam-zam dan obat dari sana, betapa yakinnya ibuku bahwa ayahnya akn sembuh karena selalu didoakannya disana. Namun saat sampai rumah, orang-orang telah berkumpul, beberapa saudara ibuku bersama kami, senyum bahagia dari wajah ibuku saat turun dari mobil langsung berubah seketika saat diberitahu tentang keadaan kakek. Aku bisa menyaksikan terpukulnya hati ibuku kala itu, dia sampai berlutut dan menahan tangisnya sekuat mungkin. Lalu berangkatlah kami, ke kota lain, tempat kakekku akan dikebumikan sesuai permintaannya, kota yang menjadi tempat rantauan pertamanya yang sudah ia bangunkan rumah tempat peristirahatannya selama ini disana.

Dan yah…hiduppun harus berlanjut meskipun telah kehilangan. Dan ayahku selalu menyayangi nenekku, dipenuhinya kebutuhan nenekku, dan ibuku juga memenuhi kebutuhan mertuanya, ibu dari ayahku. Karena masing-masing mereka tinggal memiliki ibu yang kini tua renta yang selalu merasa kesepian ditinggal anak cucunya yang sudah beranjak dewasa. Dan setelah ini adalah tugas kami, anak-anak dari orangtua kami yang mengurus mereka, sebagaimana mereka berkorban untuk kami untuk menjamin hidup kami agar selalu terpenuhi. Dan ayah ibuku selalu berkata bahwa tak perlu merasa kaya, tak perlu merasa lebih meskipun orang lain menganggap seperti itu, karena masih banyak yang lebih kaya masih banyak yang lebih bergelimang harta, kita hanya perlu selalu merasa sederhana agar kesombongan tidak mengalir di diri kita. Toh kita merasa cukup pun itu karena hasil kerja keras, kita juga pernah susah, kita juga pernah tidak punya apa-apa. Dan tidak ada yang perlu kita sombongkan atas itu, karena hidup terus berputar, jika kita tidak mensyukurinya saat roda kita berputar ke arah yang terburuk, kita tidak akan bisa bertahan hidup.

Dan aku bangga menjadi bagian dari mereka, Tuhan sudah baik padaku.

Selasa, 04 Mei 2021

Entah Kapan Sampainya

 

Rupanya, aku sudah memilih jalan berliku dari awal,

Ditengah perjalananku..

Aku mual, pusing, muntah, berkali-kali.

Entah kapan sampainya

Ku injak duri, paku, kotoran manusia

Entah kapan sampainya

Ku tersangkut kawat, tersandung batu, terbentur ke aspal

Entah kapan sampainya

Terkena hujan, badai, panasnya sinar matahari

Entah kapan sampainya ….

Entah kapan sampainya ?

Minggu, 29 Desember 2019

TERLAMBAT.



Kamu adalah raut segar malam ini, yang mampir diingatanku tipis-tipis lalu jadi banyak, aku seperti terdorong kembali ke belakang untuk mengingatmu, mengingat kita dan banyaknya kenangan yang telah kita tinggalkan begitu saja. Serta ada rasa bersalah yang menjalar pelan-pelan, membuat tanganku tergerak untuk menyentuh layar ponselku dan mencari namamu disana. Yah.. malam ini aku sukses mendengar suaramu kembali, setelah sekian lama. Kau menjawab ragu namun tak kalah ragunya aku, ingin rasanya langsung menutup telfon tapi hal itu hanya memperlihatkan kekanak-kanakanku. Aku harus bisa jauh lebih dewasa sekarang, aku bukan lagi anak SMA, meskipun masih terhitung sebulan sejak hari pelepasan putih abu-abu.

Kemudian aku mengucapkan hai, dan menanyakan kabarmu sambil meremas tanganku sendiri, aku benar-benar gugup dan merasa konyol juga bodoh. Kau melaporkan keadaanmu yang baik-baik saja yang akhirnya ku balas dengan diam karena tidak tau harus berkata apa lagi. Namun, akhirnya kau menyelamatkanku dari suasana canggung, mungkin…mulai merasa santai diujung sana kau berbicara panjang lebar daripadaku, aku hanya lebih banyak diam, dan tertawa hehehe sambil menepuk-nepuk betis atau lengan dan pipiku yang dihinggapi nyamuk. Yah aku sedang berada di teras kost dua bulan ku, bulan ini adalah bulan terakhir. Aku sedang mengikuti bimbel masuk perguruan tinggi dan akhirnya ku cari kost dekat dengan tempat bimbelku. Seperti demikian juga kulaporkan keadaanku padamu. Yang disambut dengan oh ria mu.

Kita bercakap malam itu, seolah-olah kamu berada disampingku dan kita ngobrol langsung dan bercanda seperti di jam istirahat waktu SMA dulu. Dan rupanya kaupun berada jauh , di sudut kota lain yang menjadi pilihan rantauanmu.

Hampir sejam, sekali-kali diiringi dengan suara nyamuk yang mendekat ditelingaku dan suara tepukan dikulitku ketika para nyamuk mulai menghisap darahku. Dan aku belum mau masuk ke kamar disebabkan ada dua orang teman sekamarku sedang bercengkerama dengan kekasih mereka masing-masing. Tentu kamu tau bedanya orang pacaran yang saling telfonan dengan aku dan kamu yang entah bagaimana, kann?.

Dari masa-masa SMP aku sudah mengagumimu, entah bagaimana kamu. Sampai akhirnya SMA aku tetap mengagumi dan akhirnya kamupun mengaku sama seperti ku, rupanya kita saling mengagumi. Tapi sayang, tak pernah keluar kata apapun lagi dari mulutmu selain itu meskipun kutau seperti apa juga perasaanmu kepadaku. Atau mungkin aku memang yang salah, tak pernah benar-benar melihatmu karena kesetiaanku pada orang lain yang begitu parah sampai akhirnya kutemukan titik akhir yang menyakitkan.

Maaf waktu itu aku sedang buta dan terlambat menyadarimu. sekarang kudapati diriku merindukanmu dengan segala penyesalanku di hari-hari yang dulu. Kupikir aku akan mengatakan perasaanku sendiri padamu dan segala penyesalan dibelakang agar tidak lagi gelisah hatiku. Namun, belum sempat kukeluarkan sepatah kata tentang hal itu kau diluanlah yang memulai, bukan tentang perasaanmu padaku, lebih dari itu, lebih dari menyakitkan. Seketika kau menyulitkanku untuk bernafas. Kau bercerita tentang seseorang yang akhirnya ..kini..menjadi..milikmu. seseorang yang kukenal, seseorang yang sedikit kukagumi di masa SMA ku, sosok yang sangat dewasa dan terpintar di sekolah, kamu rupanya luar biasa bisa mendapatkannya. Seketika aku merasa memang tak ada apa-apanya diri ini dibanding dia.

Selamat. Begitulah kata yang akhirnya keluar dari mulutku. Tak ada lanjutannya, aku hanya berharap kamu tidak mendengar nafasku yang sedang kubuang bersama rasa sakit yang menjalar dari ujung kakiku ke system pernafasanku. Dan seketika itu juga percakapan kita berakhir. Kamu pamit, karena harus mengubunginya. Lalu akupun meminta maaf sudah menyita waktumu. Kamu hanya membalas dengan tawa tidak enak diiringi ucapan tidak apa-apa dan sampai jumpa. Kamu memutus sambungan diluan, kurasakan sebalah tanganku begitu lemas jatuh ke pangkuanku dan juga ponselku yang sudah tergeletak di lantai yang dingin seperti diriku, membeku.

Ada beribu kata yang akhirnya menguap sia-sia. Lagi-lagi aku terlambat jika itu tentangmu.

Minggu, 16 Juni 2019

GERBONG FIKSI : STASIUN KEPULANGAN



Aku salah satu manusia yang memenuhi stasiun di hari ini. Hampir setiap hari sejak beberapa bulan yang lalu aku mampir kesini, menunggu satu sosok yang keluar dari pintu kereta yang penuh kesesakan. Senyumku tak pernah pudar, melambai jika sudah menemukan seseorang yang kutunggu bahkan berjam-jam lamanya, tak pernah tepat waktu atau terlambat, aku selalu mendahului jadwal kereta api yang datang. Aku beruntung memiliki sifat yang sabar bahkan untuk hari ini.

Ginanjar. Ginan, begitu aku memanggilnya. Ia membopong ransel yang dilihat saja sudah berat, aku menghampirinya dengan sigap saat ia baru beberapa langkah keluar dari pintu kereta, memeluknya dengan sangat erat sampai menambah bebannya. aku tidak peduli, yang penting hatiku legah dan senang bukan kepalang.

“kamu pulang” kataku pelan tepat didadanya.

Aku mendengar tawa kecilnya, sementara itu dia pasti sedang melihat kearah kepalaku. Aku mendongakan kepala dengan masih sambil memeluknya lalu berkata “minggu depan jangan pergi lagi”

Kali ini ia tersenyum lebar, dia pikir tiap aku berkata begitu hanyalah sebuah lelucon atau rengekan tidak penting padahal aku selalu saja serius dan merasa khawatir tiap mengucapkannya.
“kalau tidak kerja, tidak dapat uang. Nanti kita mau makan apa?”

“kalau begitu pindah kesini saja”

Kali ia menghela nafas, namun senyumnya tidak pudar, sementara mataku rasanya sudah memanas sebelum akhirnya dia diluan menghapus air mataku yang baru saja ingin jatuh “tuh kan cengeng. Jangan begitu dong, yang penting sekarang aku disini, kita sama-sama seminggu ini, yah?”
Rasanya aku tidak bisa berkata lagi-lagi dan hanya mengangguk. Lalu kulepas pelukanku dan melangkah bersamanya keluar dari stasiun. Sesungguhnya, aku benci tempat ini yang menjadi saksi dari penantianku, aku lebih memilih menunggu Ginan di rumah, pulang tiap sore atau malam, bukan sebulan sekali atau bahkan sampai 3 bulan sekali, untung-untung dikasi libur seminggu atau tiga hari dalam satu bulan, bahkan sering tidak sama sekali. Kami adalah pengantin baru yang penuh dengan siksaan rindu.

*****

Hari itu adalah hari Ginan harus kembali ke kota yang jauh dari tempat tinggal kami, merantau seorang diri demi pekerjaan yang belum bisa ia tinggalkan meskipun sudah ku bujuk berkali-kali, katanya mencari pekerjaan yang membuatnya nyaman itu susah dan disana ia sudah dapatkan itu dengan gaji yang lumayan dan sangat dinikmatinya. Meskipun aku pahami tapi tetap saja diriku tidak ingin, akupun tidak bisa meninggalkan kota ini karena tuntutan pekerjaan juga, aku bisa saja pindah tapi aku tidak bisa jauh-jauh dari ibuku yang sudah ditinggal oleh bapak dan harus tinggal denganku, anak satu-satunya. Atau aku juga bisa membawa ibuku pindah mengikuti Ginan tapi gaji kami pun tidak akan mampu membeli rumah lagi dan belum tentu biaya hidup disana bisa lebih mudah dibanding dengan biaya hidup disini, disamping itu, ibu juga tidak mau jauh-jauh dari pusara bapak yang tidak jauh dari rumah. Begitu banyak pertimbangan yang tidak jarang membuat aku dan Ginan berdebat tapi selalu saja aku yang mengalah, bagaimanapun aku juga menghargai keputusan suamiku karena kalau ia tidak kerja, aku tidak yakin gajiku seorang diri mampu menghidupi kami bertiga belum lagi jika kami punya anak. Dan memang keputusan Ginan untuk tetap bekerjaa di kota yang jauh dariku adalah pilihan terbaik karena sesungguhnya aku hanya tersiksa oleh rasa rinduku dan selalu membutuhkan sosoknya disisiku.

Dan saat-saat kegundahanku tiba karena harus mengantarnya kembali ke stasiun,waktu itu kami berada dalam mobil diparkiran stasiun rasanya masih belum puas melepas rindu yang akhirnya membuatku cengeng kembalid dan ketika itu tiba-tiba saja ia memeluk dan membisikku “aku akan coba resign yah biar bisa temani kamu disini, maaf sudah siksa kamu”

Saat itu aku gemetar, ingin rasanya teriak senang, menangis atau khawatir. Aku khawatir kalau saja Ginan yang malah kesusahan cari kerja disini padahal jelas-jelas penghasilan yang didapatkannya sudah sangat membantu kehidupan kami. Tapi tidak bisa dipungkiri aku sangat senang mendengarnya dan sangat menginginnkannya. Aku hanya berharap akan ada keputusan yang lebih baik yang akan sama-sama kami sepakati.

“tapi kamu belum tentu dapat pekerjaan disini atau mungkin bahkan tidak nyaman, aku tau seperti apa rasanya bekerja dengan setengah hati apalagi aku tau pribadi kamu seperti apa, kamu tidak akan bisa bekerja dibawah tekanan” aku bahkan tak bisa berhenti mengocehkan kekhawatiranku kalau saja Ginan tdak menghentikanku

“sssssssttt, udah yah. Rejeki gak akan kemana kok, mau tidak mau aku harus.  aku juga tersiksa kalau  jauh-jauh dari kamu terus. Maaf yah selama ini aku egois, padahal sebagai seorang suami aku selalu siap untuk kamu, apalagi kita baru saja menikah, harusnya aku selalu disamping kamu terus. Sekali lagi maaf, tunggu aku beberapa minggu lagi, insyaAllah aku kembali kesini, bersama kamu terus menerus”

Kemudian Ginan memelukku, kemudian tangisku pecah. Betapa beruntungnya aku memiliki Ginan betapa beruntungnya aku dalam hidup ini. Bahkan detik itupun aku jadi tidak sabaran jumpa dngan minggu-minggu berikutnya saat Ginan sudah pulang ke rumah bahkan harus untuk selamanya, denganku. Aku tidak sabaran memulai hari baru itu.

*****

3 minggu berlalu.

Sehabis subuh Ginan menelponku akan pulang hari itu, aku girang bukan main sampai deg-degan rasanya. Aku bahkan tidak sabar memberi sebuah kabar gembira yang sudah kusimpan dari minggu lalu karena menunggu Ginan pulang dan menyampaikannya secara langsung.
Satu jam sebelum waktu kereta Ginan sampai aku sudah menantinya distasiun, seperti biasa, tidak telat. Sesekali aku memainkan hpku atau sekedar memperhatikan orang-orang sekitar bahkan terakhir aku chat-chat dengan Ginan sejak setengah jam yang lalu untuk sekedar memberitahunya bahwa aku sudah di stasiun dan berlanjut dengan percakapan kecil yang membuatku senyum-senyum sendiri namun tidak lama kemudian dia tidak membalas mungkin hpnya sudah lowbet atau tidak dapat sinyal. Meskipun bgitu dia akan segera membalas jika sudah dapat menghubungiku.
Aku menatap sebuah kotak kado yang baru saja kuambil dari tas, sungguh tidak sabar, rasa rinduku meluap-luap bahkan rasa senang bukan kepalang dari subuh menyelimuti diriku aku sudah memikirkan akan masak apa malam nanti atau apa rencana esok hari, aku bahkan membayangkan ekspresi Ginan saat kuberi hadiah. Begitu sempurna hari itu dan hari-hari berikutnya. Pikirku.
Tapi …… semuanya seketika berubah,dan saat itu aku berpikir bahwa Tuhan benar-benar jahat padaku.  tiba-tiba saja spiker distasiun mendadak ribut, sebuah suara terdengar memberitahukan pengumuman yang tidak ingin kudengar, bukan pemberitahuan bahwa kereta yang ditumpangi Ginan sebentar lagi akan sampai, seperti biasanya. Tapi jauh dari itu, masih jauh berkilo-kilo meter dari stasiun ini ditambah kesadaranku tentang kehilangan kabar dari Ginan secara tiba-tiba sejak tadi. ternyata dia tidak pulang dan tidak akan pulang.  Ginanku tidak akan pulang,

****

Aku disini, berdiri menanti kedatangan kereta yang sudah kesekian kalinya berhenti didepanku, menyaksikan penumpangnya keluar sampai habis . dan kembali menanti kereta selanjutnya dan terus menanti. aku memegang perutku yang sudah mulai membesar, dengan pasrah. Aku tidak lagi meangis bahkan tidak merasakan apa-apa. Aku mati rasa.

“mba kenapa masih disini? Sudah hampir malam, mba disini sudah dari pagi, kasian mbanya” seorang anak muda menghampiriku, berpakaian seragam seperti petugas-petugas stasiun, yah seperti itu setiap hari, selalu ada yang menegurku baru aku sadar dan beranjak pulang. Aku hanya menggangguk lalu ia meninggalkanku. Beberapa menit kemudian aku berbalik dan berjalan gontai keluar dari stasiun tidak lagi bersama pasanganku.

Ginanjar, perihal aku dan kamu adalah sebuah jatuh yang tidak bangkit lagi.

Aku pulang dulu, besok ku tunggu lagi.