Aku mencapai titik terendahku dalam hidup.
Jatuh sejatuhnya. Apapun akan terasa hampa apapun terasa hambar. seperti ku
dapati diriku meringkuk di subuh itu bersama rasa sesak yang selalu menghampiri
bersamaan aku membuka mata. Menghadapi kenyataan. Aku selalu ingin waktu
berlalu begitu cepat namun dengan aktifitas yang sama setiap hari membuat
sedetik menjadi semenit bahkan lebih. Aku ingin malam dengan cepat datang,
satu-satunya waktu yang seperti anti depressan, disaat itu secepat mungkin akan
kuputuskan untuk menutup mata dan berusaha menghindari segala hal yang memicu
kesengsaraanku semakin besar.
Aku kehilangan arah, satu-satunya yang
membuatku bertahan adalah aku tidak tau bagaimana caranya untuk mengakhiri
hidup meskipun keinginan itu sudah berpuluh-puluh kali mampir di kepalaku. Yang
pada akhirnya membuat tubuhku tetap bergerak dan memiliki nafas meskipun jiwaku
sudah hampir keluar dari tempatnya.
Inilah rasa yang tidak ingin kuulang selama
hidupku kelak. Disaat itu, aku tidak melihat masa depanku lagi, semua yang ada
dikepalaku hanyalah ruang kosong yang dengan terpaksa meninggalkan tempatnya.
Seakan-akan aku hanya sedang menanti kapan waktunya aku pulang untuk selamanya
tanpa melakukan apapun.
Sehari..dua
hari..berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, aku seperti menyia-nyiakan waktu
selama itu dengan berbagai macam percobaan melukai diri karena rupanya Tuhan
membenci orang-orang yang berdoa untuk dimatikan diluar takdirnya, seperti yang
kulakukan ditiap harinya.
Aku Kembali bisu dan bisu tidak pernah ada
lagi senyum dan kebawelan di dalam rumah karena ulahku. Aku hanyalah mayat
hidup yang meringkuk ditempat tidur selama berbulan-bulan sekaligus
menghilangkan berat badan dengan otomatis dan drastis. Aku tidak tertarik
terhadap apapun lagi. Kuserahkan diriku pada waktu yang terus berjalan.
Aku tuli terhadap nasehat apapun, aku hanya
sendiri di dunia ku sendiri yang saat itu mejadi hitam kelam , semua rasa yang
ada dalam diriku lenyap begitu saja termsauk rasa empati dan simpati terhadap
orang lain, aku mendadak menjadi individualism bahkan merasa Tuhan tidak mau
membantuku.
Aku seperti di antah berantah. Seperti
paradox waktu yang terus berulang-ulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar