Aku salah satu manusia yang memenuhi stasiun di hari ini.
Hampir setiap hari sejak beberapa bulan yang lalu aku mampir kesini, menunggu
satu sosok yang keluar dari pintu kereta yang penuh kesesakan. Senyumku tak
pernah pudar, melambai jika sudah menemukan seseorang yang kutunggu bahkan
berjam-jam lamanya, tak pernah tepat waktu atau terlambat, aku selalu
mendahului jadwal kereta api yang datang. Aku beruntung memiliki sifat yang
sabar bahkan untuk hari ini.
Ginanjar. Ginan, begitu aku memanggilnya. Ia membopong
ransel yang dilihat saja sudah berat, aku menghampirinya dengan sigap saat ia
baru beberapa langkah keluar dari pintu kereta, memeluknya dengan sangat erat
sampai menambah bebannya. aku tidak peduli, yang penting hatiku legah dan
senang bukan kepalang.
“kamu pulang” kataku pelan tepat didadanya.
Aku mendengar tawa kecilnya, sementara itu dia pasti sedang
melihat kearah kepalaku. Aku mendongakan kepala dengan masih sambil memeluknya lalu
berkata “minggu depan jangan pergi lagi”
Kali ini ia tersenyum lebar, dia pikir tiap aku berkata
begitu hanyalah sebuah lelucon atau rengekan tidak penting padahal aku selalu
saja serius dan merasa khawatir tiap mengucapkannya.
“kalau tidak kerja, tidak dapat uang. Nanti kita mau makan
apa?”
“kalau begitu pindah kesini saja”
Kali ia menghela nafas, namun senyumnya tidak pudar,
sementara mataku rasanya sudah memanas sebelum akhirnya dia diluan menghapus
air mataku yang baru saja ingin jatuh “tuh kan cengeng. Jangan begitu dong,
yang penting sekarang aku disini, kita sama-sama seminggu ini, yah?”
Rasanya aku tidak bisa berkata lagi-lagi dan hanya
mengangguk. Lalu kulepas pelukanku dan melangkah bersamanya keluar dari
stasiun. Sesungguhnya, aku benci tempat ini yang menjadi saksi dari
penantianku, aku lebih memilih menunggu Ginan di rumah, pulang tiap sore atau
malam, bukan sebulan sekali atau bahkan sampai 3 bulan sekali, untung-untung
dikasi libur seminggu atau tiga hari dalam satu bulan, bahkan sering tidak sama
sekali. Kami adalah pengantin baru yang penuh dengan siksaan rindu.
*****
Hari itu adalah hari Ginan harus kembali ke kota yang jauh dari
tempat tinggal kami, merantau seorang diri demi pekerjaan yang belum bisa ia
tinggalkan meskipun sudah ku bujuk berkali-kali, katanya mencari pekerjaan yang
membuatnya nyaman itu susah dan disana ia sudah dapatkan itu dengan gaji yang
lumayan dan sangat dinikmatinya. Meskipun aku pahami tapi tetap saja diriku
tidak ingin, akupun tidak bisa meninggalkan kota ini karena tuntutan pekerjaan
juga, aku bisa saja pindah tapi aku tidak bisa jauh-jauh dari ibuku yang sudah
ditinggal oleh bapak dan harus tinggal denganku, anak satu-satunya. Atau aku
juga bisa membawa ibuku pindah mengikuti Ginan tapi gaji kami pun tidak akan
mampu membeli rumah lagi dan belum tentu biaya hidup disana bisa lebih mudah
dibanding dengan biaya hidup disini, disamping itu, ibu juga tidak mau
jauh-jauh dari pusara bapak yang tidak jauh dari rumah. Begitu banyak
pertimbangan yang tidak jarang membuat aku dan Ginan berdebat tapi selalu saja
aku yang mengalah, bagaimanapun aku juga menghargai keputusan suamiku karena
kalau ia tidak kerja, aku tidak yakin gajiku seorang diri mampu menghidupi kami
bertiga belum lagi jika kami punya anak. Dan memang keputusan Ginan untuk tetap
bekerjaa di kota yang jauh dariku adalah pilihan terbaik karena sesungguhnya
aku hanya tersiksa oleh rasa rinduku dan selalu membutuhkan sosoknya disisiku.
Dan saat-saat kegundahanku tiba karena harus mengantarnya
kembali ke stasiun,waktu itu kami berada dalam mobil diparkiran stasiun rasanya
masih belum puas melepas rindu yang akhirnya membuatku cengeng kembalid dan ketika
itu tiba-tiba saja ia memeluk dan membisikku “aku akan coba resign yah biar
bisa temani kamu disini, maaf sudah siksa kamu”
Saat itu aku gemetar, ingin rasanya teriak senang, menangis
atau khawatir. Aku khawatir kalau saja Ginan yang malah kesusahan cari kerja
disini padahal jelas-jelas penghasilan yang didapatkannya sudah sangat membantu
kehidupan kami. Tapi tidak bisa dipungkiri aku sangat senang mendengarnya dan
sangat menginginnkannya. Aku hanya berharap akan ada keputusan yang lebih baik
yang akan sama-sama kami sepakati.
“tapi kamu belum tentu dapat pekerjaan disini atau mungkin
bahkan tidak nyaman, aku tau seperti apa rasanya bekerja dengan setengah hati
apalagi aku tau pribadi kamu seperti apa, kamu tidak akan bisa bekerja dibawah
tekanan” aku bahkan tak bisa berhenti mengocehkan kekhawatiranku kalau saja
Ginan tdak menghentikanku
“sssssssttt, udah yah. Rejeki gak akan kemana kok, mau tidak
mau aku harus. aku juga tersiksa
kalau jauh-jauh dari kamu terus. Maaf
yah selama ini aku egois, padahal sebagai seorang suami aku selalu siap untuk
kamu, apalagi kita baru saja menikah, harusnya aku selalu disamping kamu terus.
Sekali lagi maaf, tunggu aku beberapa minggu lagi, insyaAllah aku kembali
kesini, bersama kamu terus menerus”
Kemudian Ginan memelukku, kemudian tangisku pecah. Betapa
beruntungnya aku memiliki Ginan betapa beruntungnya aku dalam hidup ini. Bahkan
detik itupun aku jadi tidak sabaran jumpa dngan minggu-minggu berikutnya saat
Ginan sudah pulang ke rumah bahkan harus untuk selamanya, denganku. Aku tidak
sabaran memulai hari baru itu.
*****
3 minggu berlalu.
Sehabis subuh Ginan menelponku akan pulang hari itu, aku
girang bukan main sampai deg-degan rasanya. Aku bahkan tidak sabar memberi
sebuah kabar gembira yang sudah kusimpan dari minggu lalu karena menunggu Ginan
pulang dan menyampaikannya secara langsung.
Satu jam sebelum waktu kereta Ginan sampai aku sudah
menantinya distasiun, seperti biasa, tidak telat. Sesekali aku memainkan hpku
atau sekedar memperhatikan orang-orang sekitar bahkan terakhir aku chat-chat
dengan Ginan sejak setengah jam yang lalu untuk sekedar memberitahunya bahwa
aku sudah di stasiun dan berlanjut dengan percakapan kecil yang membuatku
senyum-senyum sendiri namun tidak lama kemudian dia tidak membalas mungkin
hpnya sudah lowbet atau tidak dapat sinyal. Meskipun bgitu dia akan segera
membalas jika sudah dapat menghubungiku.
Aku menatap sebuah kotak kado yang baru saja kuambil dari
tas, sungguh tidak sabar, rasa rinduku meluap-luap bahkan rasa senang bukan
kepalang dari subuh menyelimuti diriku aku sudah memikirkan akan masak apa
malam nanti atau apa rencana esok hari, aku bahkan membayangkan ekspresi Ginan
saat kuberi hadiah. Begitu sempurna hari itu dan hari-hari berikutnya. Pikirku.
Tapi …… semuanya seketika berubah,dan saat itu aku berpikir
bahwa Tuhan benar-benar jahat padaku. tiba-tiba
saja spiker distasiun mendadak ribut, sebuah suara terdengar memberitahukan
pengumuman yang tidak ingin kudengar, bukan pemberitahuan bahwa kereta yang
ditumpangi Ginan sebentar lagi akan sampai, seperti biasanya. Tapi jauh dari
itu, masih jauh berkilo-kilo meter dari stasiun ini ditambah kesadaranku
tentang kehilangan kabar dari Ginan secara tiba-tiba sejak tadi. ternyata dia
tidak pulang dan tidak akan pulang. Ginanku
tidak akan pulang,
****
Aku disini, berdiri menanti kedatangan kereta yang sudah
kesekian kalinya berhenti didepanku, menyaksikan penumpangnya keluar sampai
habis . dan kembali menanti kereta selanjutnya dan terus menanti. aku memegang
perutku yang sudah mulai membesar, dengan pasrah. Aku tidak lagi meangis bahkan
tidak merasakan apa-apa. Aku mati rasa.
“mba kenapa masih disini? Sudah hampir malam, mba disini sudah dari pagi, kasian mbanya” seorang anak muda menghampiriku,
berpakaian seragam seperti petugas-petugas stasiun, yah seperti itu setiap
hari, selalu ada yang menegurku baru aku sadar dan beranjak pulang. Aku hanya
menggangguk lalu ia meninggalkanku. Beberapa menit kemudian aku berbalik dan berjalan
gontai keluar dari stasiun tidak lagi bersama pasanganku.
Ginanjar, perihal aku dan kamu adalah sebuah jatuh yang
tidak bangkit lagi.
Aku pulang dulu, besok ku tunggu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar