Total Tayangan Halaman

2,614

Minggu, 16 Juni 2019

GERBONG FIKSI : STASIUN KEPULANGAN



Aku salah satu manusia yang memenuhi stasiun di hari ini. Hampir setiap hari sejak beberapa bulan yang lalu aku mampir kesini, menunggu satu sosok yang keluar dari pintu kereta yang penuh kesesakan. Senyumku tak pernah pudar, melambai jika sudah menemukan seseorang yang kutunggu bahkan berjam-jam lamanya, tak pernah tepat waktu atau terlambat, aku selalu mendahului jadwal kereta api yang datang. Aku beruntung memiliki sifat yang sabar bahkan untuk hari ini.

Ginanjar. Ginan, begitu aku memanggilnya. Ia membopong ransel yang dilihat saja sudah berat, aku menghampirinya dengan sigap saat ia baru beberapa langkah keluar dari pintu kereta, memeluknya dengan sangat erat sampai menambah bebannya. aku tidak peduli, yang penting hatiku legah dan senang bukan kepalang.

“kamu pulang” kataku pelan tepat didadanya.

Aku mendengar tawa kecilnya, sementara itu dia pasti sedang melihat kearah kepalaku. Aku mendongakan kepala dengan masih sambil memeluknya lalu berkata “minggu depan jangan pergi lagi”

Kali ini ia tersenyum lebar, dia pikir tiap aku berkata begitu hanyalah sebuah lelucon atau rengekan tidak penting padahal aku selalu saja serius dan merasa khawatir tiap mengucapkannya.
“kalau tidak kerja, tidak dapat uang. Nanti kita mau makan apa?”

“kalau begitu pindah kesini saja”

Kali ia menghela nafas, namun senyumnya tidak pudar, sementara mataku rasanya sudah memanas sebelum akhirnya dia diluan menghapus air mataku yang baru saja ingin jatuh “tuh kan cengeng. Jangan begitu dong, yang penting sekarang aku disini, kita sama-sama seminggu ini, yah?”
Rasanya aku tidak bisa berkata lagi-lagi dan hanya mengangguk. Lalu kulepas pelukanku dan melangkah bersamanya keluar dari stasiun. Sesungguhnya, aku benci tempat ini yang menjadi saksi dari penantianku, aku lebih memilih menunggu Ginan di rumah, pulang tiap sore atau malam, bukan sebulan sekali atau bahkan sampai 3 bulan sekali, untung-untung dikasi libur seminggu atau tiga hari dalam satu bulan, bahkan sering tidak sama sekali. Kami adalah pengantin baru yang penuh dengan siksaan rindu.

*****

Hari itu adalah hari Ginan harus kembali ke kota yang jauh dari tempat tinggal kami, merantau seorang diri demi pekerjaan yang belum bisa ia tinggalkan meskipun sudah ku bujuk berkali-kali, katanya mencari pekerjaan yang membuatnya nyaman itu susah dan disana ia sudah dapatkan itu dengan gaji yang lumayan dan sangat dinikmatinya. Meskipun aku pahami tapi tetap saja diriku tidak ingin, akupun tidak bisa meninggalkan kota ini karena tuntutan pekerjaan juga, aku bisa saja pindah tapi aku tidak bisa jauh-jauh dari ibuku yang sudah ditinggal oleh bapak dan harus tinggal denganku, anak satu-satunya. Atau aku juga bisa membawa ibuku pindah mengikuti Ginan tapi gaji kami pun tidak akan mampu membeli rumah lagi dan belum tentu biaya hidup disana bisa lebih mudah dibanding dengan biaya hidup disini, disamping itu, ibu juga tidak mau jauh-jauh dari pusara bapak yang tidak jauh dari rumah. Begitu banyak pertimbangan yang tidak jarang membuat aku dan Ginan berdebat tapi selalu saja aku yang mengalah, bagaimanapun aku juga menghargai keputusan suamiku karena kalau ia tidak kerja, aku tidak yakin gajiku seorang diri mampu menghidupi kami bertiga belum lagi jika kami punya anak. Dan memang keputusan Ginan untuk tetap bekerjaa di kota yang jauh dariku adalah pilihan terbaik karena sesungguhnya aku hanya tersiksa oleh rasa rinduku dan selalu membutuhkan sosoknya disisiku.

Dan saat-saat kegundahanku tiba karena harus mengantarnya kembali ke stasiun,waktu itu kami berada dalam mobil diparkiran stasiun rasanya masih belum puas melepas rindu yang akhirnya membuatku cengeng kembalid dan ketika itu tiba-tiba saja ia memeluk dan membisikku “aku akan coba resign yah biar bisa temani kamu disini, maaf sudah siksa kamu”

Saat itu aku gemetar, ingin rasanya teriak senang, menangis atau khawatir. Aku khawatir kalau saja Ginan yang malah kesusahan cari kerja disini padahal jelas-jelas penghasilan yang didapatkannya sudah sangat membantu kehidupan kami. Tapi tidak bisa dipungkiri aku sangat senang mendengarnya dan sangat menginginnkannya. Aku hanya berharap akan ada keputusan yang lebih baik yang akan sama-sama kami sepakati.

“tapi kamu belum tentu dapat pekerjaan disini atau mungkin bahkan tidak nyaman, aku tau seperti apa rasanya bekerja dengan setengah hati apalagi aku tau pribadi kamu seperti apa, kamu tidak akan bisa bekerja dibawah tekanan” aku bahkan tak bisa berhenti mengocehkan kekhawatiranku kalau saja Ginan tdak menghentikanku

“sssssssttt, udah yah. Rejeki gak akan kemana kok, mau tidak mau aku harus.  aku juga tersiksa kalau  jauh-jauh dari kamu terus. Maaf yah selama ini aku egois, padahal sebagai seorang suami aku selalu siap untuk kamu, apalagi kita baru saja menikah, harusnya aku selalu disamping kamu terus. Sekali lagi maaf, tunggu aku beberapa minggu lagi, insyaAllah aku kembali kesini, bersama kamu terus menerus”

Kemudian Ginan memelukku, kemudian tangisku pecah. Betapa beruntungnya aku memiliki Ginan betapa beruntungnya aku dalam hidup ini. Bahkan detik itupun aku jadi tidak sabaran jumpa dngan minggu-minggu berikutnya saat Ginan sudah pulang ke rumah bahkan harus untuk selamanya, denganku. Aku tidak sabaran memulai hari baru itu.

*****

3 minggu berlalu.

Sehabis subuh Ginan menelponku akan pulang hari itu, aku girang bukan main sampai deg-degan rasanya. Aku bahkan tidak sabar memberi sebuah kabar gembira yang sudah kusimpan dari minggu lalu karena menunggu Ginan pulang dan menyampaikannya secara langsung.
Satu jam sebelum waktu kereta Ginan sampai aku sudah menantinya distasiun, seperti biasa, tidak telat. Sesekali aku memainkan hpku atau sekedar memperhatikan orang-orang sekitar bahkan terakhir aku chat-chat dengan Ginan sejak setengah jam yang lalu untuk sekedar memberitahunya bahwa aku sudah di stasiun dan berlanjut dengan percakapan kecil yang membuatku senyum-senyum sendiri namun tidak lama kemudian dia tidak membalas mungkin hpnya sudah lowbet atau tidak dapat sinyal. Meskipun bgitu dia akan segera membalas jika sudah dapat menghubungiku.
Aku menatap sebuah kotak kado yang baru saja kuambil dari tas, sungguh tidak sabar, rasa rinduku meluap-luap bahkan rasa senang bukan kepalang dari subuh menyelimuti diriku aku sudah memikirkan akan masak apa malam nanti atau apa rencana esok hari, aku bahkan membayangkan ekspresi Ginan saat kuberi hadiah. Begitu sempurna hari itu dan hari-hari berikutnya. Pikirku.
Tapi …… semuanya seketika berubah,dan saat itu aku berpikir bahwa Tuhan benar-benar jahat padaku.  tiba-tiba saja spiker distasiun mendadak ribut, sebuah suara terdengar memberitahukan pengumuman yang tidak ingin kudengar, bukan pemberitahuan bahwa kereta yang ditumpangi Ginan sebentar lagi akan sampai, seperti biasanya. Tapi jauh dari itu, masih jauh berkilo-kilo meter dari stasiun ini ditambah kesadaranku tentang kehilangan kabar dari Ginan secara tiba-tiba sejak tadi. ternyata dia tidak pulang dan tidak akan pulang.  Ginanku tidak akan pulang,

****

Aku disini, berdiri menanti kedatangan kereta yang sudah kesekian kalinya berhenti didepanku, menyaksikan penumpangnya keluar sampai habis . dan kembali menanti kereta selanjutnya dan terus menanti. aku memegang perutku yang sudah mulai membesar, dengan pasrah. Aku tidak lagi meangis bahkan tidak merasakan apa-apa. Aku mati rasa.

“mba kenapa masih disini? Sudah hampir malam, mba disini sudah dari pagi, kasian mbanya” seorang anak muda menghampiriku, berpakaian seragam seperti petugas-petugas stasiun, yah seperti itu setiap hari, selalu ada yang menegurku baru aku sadar dan beranjak pulang. Aku hanya menggangguk lalu ia meninggalkanku. Beberapa menit kemudian aku berbalik dan berjalan gontai keluar dari stasiun tidak lagi bersama pasanganku.

Ginanjar, perihal aku dan kamu adalah sebuah jatuh yang tidak bangkit lagi.

Aku pulang dulu, besok ku tunggu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar