Aku larut pagi ini, seperti garam
yang melebur dalam air, mengikuti air, seperti gula dalam air teh panas,
melebur, mengikuti air tehnya. Akupun bertanya-tanya jika aku larut dan
melebur, karena apa dan dalam apakah
aku? Mungkin kau bisanya menyebutnya musiman yang panjang, larut dalam musiman
yang panjang, musiman luka yang panjang. Bersama nyata maupun mimpi, musim yang
sama berdatangan begitu saja tanpa aba-aba, tak memberi celah untuk bersiap
diri hingga tenggelamlah, suatu waktu dapat naik ke permukaan lalu ditelan
lagi, tenggelam lagi.
Terkait mimpi semalam, rasanya
diriku menguap, naik ke atmosfir, menjadi awan mendung dan menurunkan air
sepuasnya. Air deras yang menghantam bumi tak kira-kira, jatuh, pecah, bak
angkara yang paling besar. Kau bahkan datang dengan bungkusan kata-kata yang
seakan-akan mengukutukku menjadi batu untuk selama-lamanya. Aku merasa hilang, entah dimana itu. Serasa
tak bisa menumbuhkan jiwa itu lagi. Aku terus
dihantuinya, yang sejuta kalipun aku jelaskan tak bisa kau cerna, entah sampai
kapan itu, entah sampai kapan aku merasakan musiman yang panjang ini, aku haus,
aku kering berhari-hari dan kadang diterpa hujan berhari-hari pula, aku dingin,
dan kau tak bergeming. Bisakah kau tak menyentuh semestaku lagi ? aku bahkan
tak tau menghadapi diriku sendiri bagaimana. Aku tak tau harus mulai darimana
untuk membentuk diriku lagi yang telah benar-benar larut dalam derasnya hujan
dimusiman panjangku, yang kau ciptakan tak kira-kira.